*)oleh Anas Ahmadi
IKAUNESA.ID – Tulisan sederhana ini menyoal sastra masuk kurikulum yang sedang hangat. Ya, sederhana saja tidak terlalu serius. Santai saja, sambil menikmati kopi. Baiklah, mengacu pada salah satu filosofi tujuan Merdeka Belajar dalam relevansinya dengan literasi adalah “membaca melibatkan dialog kritis dan reflektif antara pembaca dan teks yang dibaca”. Filosofi ini mengindikasikan bahwa peserta didik diharapkan menjadi manusia kritis dan reflektif. Artinya, mereka tidak hanya mampu menjadi manusia kritis, tetapi mampu merefleksikan diri. Bukan menjadi manusia: pembeo, pembebek, pengekor, penjilat, ataupun varian lain yang sejenis/semacam itu. Tentunya, tidak sedikit juga ditemukan manusia-manusia yang ahli koar-koar, tetapi tidak ada eksekusi sama sekali. Pintar omong, tetapi hasilnya omong kosong alias nggedabrus.
Jika dikaitkan dengan tujuan program Sastra masuk Kurikulum: Memanfaatkan karya sastra dalam implementasi Kurikulum Merdeka untuk meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, dan mengasah kreativitas serta nalar kritis murid. Untuk itulah, program ini urgen dilakukan. Tentunya, program ini, sudah dilakukan proses pengajian yang mendalam, mulai dari nama pengarang yang masuk dalam daftar bacaan, kategorialisasi karya sastra yang merepresentasikan: zaman, gender, tema, kelompok minoritas, dan juga pengarang yang mendapatkan penghargaan. Selain itu, program ini juga dikaitkan dengan profil pelajar Pancasila, yakni: beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis
Sastra Indonesia masuk kurikulum
Sastra Indonesia masuk kurikulum. Memang. Bukan hal baru. Dulu sudah dilakukan. Lantas. Apakah sastra masuk kurikulum ini hanya perulangan saja? Ah, memang banyak suara-suara sumbang dalam langkah pemerintah Indonesia berkait dengan Sastra Masuk Kurikulum ini. Ada beberapa catatan dari diskusi-diskusi ataupun tulisan yang bersliweran berkait dengan Program Sastra masuk Kurikulum. Pertama, Program Sastra masuk Kurikulum adalah program yang berulang sehingga terkesan tidak ada kebaruan. Kedua, Program Sastra masuk Kurikulum ini sarat akan nuansa politik sebab beberapa nama pengarang yang muncul dalam kurikulum merupakan pengarang muda/baru yang tidak/kurang terkenal. Bahkan, ada pengarang yang terkenal malah tidak dimasukkan. Ketiga, ada beberapa cacat berkait dengan karya pengarang yang dianggap melanggar etika, misal saja karya sastra yang ditulis ada muatan pornografi. Keempat, masih banyak lagi, bisa dicari sendiri oleh pembaca. Ingat, bahwa mencari kesalahan lebih mudah sebab tanpa dicari, kesalahan itu pasti ketemu. Apalagi dicari.
Program Sastra masuk Kurikulum tentunya angin segar bagi kita semua. Terlepas dari apapun itu. Intinya, mari kita apresiasi program pemerintah berkait dengan sastra yang masuk dalam kurikulum. Tentunya, kita ingin anak-anak didik kita kenal dengan para pengarang Indonesia. Mengapa? Sebab sekarang, fenomena yang terjadi di masyarakat malah sebaliknya. Anak-anak didik sekolah SD, SMP, SMA lebih kenal dengan artis-artis Korea. Mereka menggilai artis Korea. Tapi, mereka lupa dengan pengarang-pengarang Indonesia.
Agar Program Sastra masuk Kurikulum bisa berjalan dengan lancar, baik, dan sesuai ekspektasi, perlu beberapa gebrakan yang dilakukan oleh kalangan dari Perguruan Tinggi, sastrawan, dan sekolah, yakni sebagai berikut. Pertama, adanya sinergi yang kuat antara pemerintah, Perguruan Tinggi, sastrawan, dinas pendidikan, dan pihak pihak sekolah. Jika sinergi tersebut berjalan dengan baik, akan menghasilkan anak didik yang benar-benar memahami, menguasai, dan meneladani sastra Indonesia. Selain itu, mereka juga bangga dengan sastra Indonesia. Kedua, jangan lupa, setiap program wajib ada evaluasi dan tindak lanjut. Termasuk program ini. Apakah program Sastra masuk Kurikulum ini memiliki sisi kontributif dalam hal nalar kritis dan reflektif dalam diri siswa atau malah sebaliknya? Tambah amburadul. Jangan pula, program ini dibaik-baikkan atas nama kebaikan. Atas nama pembeo. Untuk itu, mari, kita serahkan pada rumput yang bergoyang.
*)Penulis adalah alumni JBSI, dosen, korprodi S3 Pendidikan Bahasa Indonesia, dan guru besar Unesa bidang kritik sastra.