*Dr. Much. Khoiri, M.Si
SEMAKIN ke sini saya semakin yakin bahwa semua penulis sejatinya menghadapi tantangan menulis—boleh dikatakan kesulitan menulis, terutama tatkala masih dalam proses awal mempelajarinya. Tantangan itu akan menipis sejalan dengan intensitas latihan dan usaha secara sengaja untuk mengatasinya. Jika tantangan sudah ditundukkan, ia hanya akan menjadi sahabat.
Frase “secara sengaja” saya gunakan di sini untuk menegaskan bahwa mengatasi tantangan menulis akan memberikan hasil optimal ketika upaya yang dicurahkan memang sungguh-sungguh, tidak main-main dan sepintas lalu. Orang yang malas berlatih, dengan alasan apa pun, bisa dikategorikan “tidak secara sengaja” mengatasi tantangan menulis yang dihadapinya.
Baiklah, sekarang mari perhatikan tantangan menulis. Berdasarkan pengalaman, saya mengkategorikan tiga tantangan utama menulis: (1) tantangan teoretik dan pemahaman konsep tentang genre tulisan; (2) tantangan praktik dan latihan yang harus ditempuh oleh (calon) penulis; (3) tantangan personal dan attitude dalam menulis apa yang sedang ditulis.
Pertama, teori dasar dan konsep tentang genre tertentu (baik tulisan fiksi maupun nonfiksi) idealnya perlu diketahui dan dipahami terlebih dahulu oleh penulis (pemula), meski pemahaman itu tidak harus mendalam. Jika orang akan menulis cerpen, dia perlu paham apa dan bagaimana sebuah cerpen sebaiknya ditulis. Ini identik dengan belajar naik sepeda, sebelum belajar bersepeda, dia perlu tahu apa itu sepeda dan bagaimana naik ke sadel, memancal, mengerem, dan turun.
Sayangnya, yang sangat sering ditemukan adalah orang yang menulis “cerpen” tanpa mengetahui teori dan konsep dasarnya. Dia main ketik saja narasi yang berkelebat di dalam pikirannya, seperti menulis kisah harian yang baru dijalaninya. Hasilnya? “Cerpen” yang ditulisnya sekadar narasi tokoh (terutama diri sendiri) yang datar, tanpa konflik, tanpa penyelesaian, dan tidak jelas amanatnya.
Andaikata dia memahami apa cerpen itu dan bagaimana teknik penulisannya—meski tidak sangat rinci seperti akan ujian kelulusan—amat mungkin dia akan menyusun cerpennya dengan lebih baik, setidaknya mempertimbangkan unsur-unsur intrinsik cerpen semisal tokoh, plot, setting, tema, dan sebagainya.
Kedua, tantangan praktik dan latihan. Ini tantangan besar yang harus dihadapi penulis. Pelatihan-pelatihan sering orang ikuti, tetapi tidak berbekas banyak di dalam dirinya karena dia tidak mempraktikkannya dengan tuntas. Sehebat apa pun orang menguasai teori menulis, jika tidak intens berpraktik dan latihan, dia tidak menghasilkan apa-apa. Sebaliknya, orang yang memahami teori menulis, dia akan gigih berlatih menulis dengan hasil gemilang.
Ini analog dengan murid perguruan bela diri. Meski sang guru memberikan jurus yang sama, faktor murid akan menentukan hasil pengembangan jurus itu. Bahkan murid yang banyak berlatih, dan memadunya dengan kreativitas diri, akan menghasilkan jurus baru. Bruce Lee, misalnya, dia memiliki jurus-jurus sendiri sebagai pengembangan dari jurus-jurus yang dilatihkan oleh IP Man.
Dalam menulis cerpen, misalnya, untuk menghasilkan cerpen yang bagus, orang harus menundukkan tantangan-tantangannya: tangkas menemukan ide cerpen, menentukan tokoh dan tema, membuat awalan yang mengandung clue masalah cerpen, menyeimbangkan plot dan tokoh, membuat ketegangan dan konflik, membuat dialog, menghindari klise, membuat ending, serta melakukan editing dan revisi.
Ketiga, tantangan personal dan attitude. Inilah tantangan yang bersumber dan berkumpar di dalam diri sendiri, yang kerap menjadi tantangan sangat berat. Di antaranya adalah kurang percaya diri (kurang pede), kemacetan menulis (writer’s block), dan over-perfeksionisme.
Kurang pede itu “penyakit” personal yang harus diobati oleh siapa pun juga jika ingin berkembang lebih baik, sebab ia membuat pemiliknya kalah sebelum bertarung! Penulis wajib meembuangnya jauh-jauh. Terlebih, penulis adalah penyampai pesan dan sesuai untuk mengedukasi masyarakat luas; maka, wajib kiranya untuk membunuh “penyakit” kurang pede itu.
Kemudian, kemacetan menulis di tengah proses menulis bisa menghantui siapa pun juga; namun, penulis yang bijak akan menemukan cara untuk mengatasinya—semisal menyimak musik, istirahat sejenak, jalan-jalan, menonton film, bermain gitar, dan sebagainya. Mencari informasi pengalaman penulis-penulis lain, itu ada baiknya: siapa tahu ada yang cocok untuk diterapkan. Macet menulis itu alami; karena itu, pastilah ia dapat diatasi.
Selain itu, tantangan yang menggemaskan adalah overperfeksionisme, yakni pandangan diri yang berkeinginan berlebihan untuk memiliki karya atau capaian yang sempurna. Overperfeksionisme ini wajib digilas dan disingkirkan. Tidak apalah penulis mengambil prinsip bahwa tidak ada yang sempurna dalam sebuah karya. Gagasan yang sempurna pun di dalam pikiran bisa ambyar ketika dituangkan ke dalam tulisan. Sebab itu, karya yang terbaik bukanlah gagasan yang sempurna di dalam pikiran, melainkan karya nyata yang selesai ditulis, direvisi, dan dipublikasikan di berbagai media.
Dari tiga tantangan di atas, manakah yang paling berat menghantui penulis? Jawabannya tentu sangat relatif. Ada yang menyebut tantangan pertama, ada yang tantangan kedua, atau tantangan ketiga. Malah, boleh jadi, semua tantangan itu menjadi beban berat. Atau, sebaliknya, boleh jadi semua tantangan itu terasa ringan saja karena dia melakoninya dengan segenap hati yang gembira.
Sekarang, marilah melakukan introspeksi dan autokoreksi, apakah sejatinya kita telah menyikapi tantangan-tantangan menulis (dalam aneka genre tulisan) dengan bijak dan sukses sebagai penulis yang hidup berdampingan dengan tantangan-tantangan baru. Penulis yang hebat pastilah sang penakluk bagi setiap tantangan di hadapannya.
*Dr. Much. Khoiri, M.Si (a.k.a Much. Koiri) adalah dosen, sponsor literasi, editor/penulis berlisensi, menulis 74 buku. Tulisan ini pendapat pribadi.