IKAUNESA.ID – Multitalenta. Julukan itu pantas disematkan bagi sosok Muhammad Cheng Ho Djadi Galajapo. Alumnus Prodi D-2 Pendidikan Moral Pancasila (PMP) IKIP Surabaya (kini, Unesa) itu tidak hanya sukses menjadi pelawak, tetapi juga mahir sebagai MC, pendakwah, penulis hingga bintang film.
Muhammad Cheng Ho Djadi Galajapo, demikian nama beken alumni tahun 1986 itu. Dia mengawali karier sebagai pelawak dari belajar berkesenian secara otodidak dengan sering mendengarkan acara lawak di RRI kala itu. Sejak SD, seniman multitalenta itu telah memiliki cita-cita di bidang kesenian. Salah satunya ingin menjadi bintang film.
Cita-cita itu pun berhasil diraih. Setidaknya, dia sudah dua kali menjadi bintang film layar lebar, yakni “Jack” (rilis 2014), dan terbaru “Kartolo Numpak Terang Bulan” (rilis 14 Maret 2024). Kedua film tersebut disutradarai oleh M. Ainun Ridho, seorang sutradara ternama asal Surabaya.

Sebelum merambah ke dunia layar lebar, sosok yang akrab disapa Djadi ini dikenal sebagai seorang pelawak. Dia mulai menyadari bakat melawak itu sejak kelas 3 SMP. Kala bersekolah di SMPN 9 Surabaya, dia berhasil menjuarai lomba lawak tingkat sekolah pada 1980. Saking senangnya, berbekal piagam juara yang diserahkan kepala sekolah saat upacara bendera itu, dia langsung bawa ke RRI Surabaya dengan naik sepeda ontel.
Begitu masuk di RRI, kepada satpam, dia bilang mau melamar jadi penyiar radio. Tentu saja, si satpam kaget. Masih sekolah ke ngelamar pekerjaan? Djadi mengatakan bukan mencari pekerjaan, tapi melamar untuk bisa melawak di RRI Surabaya. “Saya ke sini mau ngelamar lawak soalnya saya penggemar ludruk RRI,” jawab Djadi kala itu sambil terkekeh.
Akhirnya, dia diantarkan ke ruang tes dan menjalani tes melawak sendirian. Setelah itu, Djadi disuruh pulang karena nanti akan ada surat pemberitahuan. Alhamdulilah, satu minggu setelah pulang, dia diterima melawak di RRI. “Itu pertama kali tahun 1980, karier melawak saya dimulai,” ucap Djadi.
Setelah lulus D-2 pada 1986, Djadi mendapat pengangkatan guru di SMPN Sudimoro, Pacitan. Namun, dia harus kembali ke Surabaya karena grup lawak yang dibangun waktu itu sudah berkembang, sehingga akan sulit jika di Pacitan. Apalagi, saat itu sarana komunikasi dan transportasi masih jarang. Dia pun meminta mengajar di SMP dan SMA YII Mulyosari Surabaya. “Saya jalani mengajar selama 23 tahun sampai 2009,” terang Djadi sebelum akhirnya fokus melawak setelah muncul peraturan guru harus mengajar full time.
Asal Mula Nama Panggung
Sebenarnya, nama aslinya adalah Sujadi. Nama Muhammad Cheng Ho, dia dapat ketika belum ada pelawak yang haji saat itu. Oleh Cak Kartolo, maestro ludrukan jula-juli Surabaya sekaligus guru berkesenian yang sangat penting bagi karier Djadi berpesan padanya karena tidak kuat menyandang nama Muhammad, maka Djadi harus menyandang nama Muhammad jika suatu saat telah haji. Nah, pada 2004, Djadi berkesempatan haji sehingga dia pun memakai nama Muhammad, sedangkan nama Cheng Ho terinspirasi dari sosok penyebar Islam dari Cina, Laksamana Cheng Ho.

“Galajapo itu singkatan dari (Gabungan Lawak Juara Jawa Pos),” terangnya, yang mengaku sejak juara lawak yang diselenggarakan Jawa Pos, dia dapat lisensi dari Dahlan Iskan mengisi acara-acara di Jawa Pos yang kemudian melambungkan namanya dengan tiga ciri khas yang disingkat NGECEMES (ngelawak, ceramah, dan ngem-MC).
Sejak kelas 2 SD, Djadi sudah rajin mengaji, hingga ketika dewasa sering menghadiri pengajian di beberapa pondok pesantren. Dari sanalah, critical thinking-nya tumbuh. Perjumpaannya dengan berbagai kyai, hingga pengetahuan dari membaca ribuan buku membuatnya tersadar bahwa lawakan itu tidak boleh menyakiti orang. Karena itu, lawakan yang ditampilkan tidak asal roasting, tapi harus dilakukan berdasarkan riset.
Bagi Djadi, tantangan dalam dunia seni adalah perkembangan tren pasar dan persaingan. Dia pun sadar harus menambah skill dengan melakukan inovasi selain lawak, semisal dakwah/ceramah dan menjadi MC. Kemahiran Djadi dalam dunia MC, tak lepas dari jasa sang guru almarhum Supangat, yang merupakan kepala penyiar Radio Gelora Surabaya (RGS). “Saya belajar MC dari beliau. Jawa Pos ngomong kalau MC nya saya, 90 persen berhasil karena basicnya dari pendidikan,” beber Djadi.
Pria dengan visi “menebar cinta harmoni dan keindahan” dan misi “mewujudkan bumi surgawi” ini tak hanya membagikan pemikirannya melalui lawakan, tetapi juga karya tulis. Dua tahun lalu, dia menerbitkan buku berjudul “Hakikat Humor: Meniti Jalan Tasawuf.” Dalam buku itu, dia mengungkapkan pemikirannya mengenai Islam Pancasila. Dia menyajikan sudut pandang Islam sebagai ajaran yang indah, sabar, lembut, adil, mendamaikan dan penuh pancaran sinar ilahi. “Mengenalkan Islam seperti itu, tentu akan dapat dipelajari oleh masyarakat luas (universal) dengan watak, watek, watuk yang berbeda,” ungkapnya.

Pria yang juga mendapat gelar Imam Besar Pelawak Indonesia (IBPI) itu tidak ingin menjadi imam yang punya banyak pengikut atau jamaah tapi senang mengadu domba atau memecah belah bangsa. Melalui petunjuk seniornya, Kasturi Cuk Kusdiadi, dia meminta izin untuk menggunakan gelar tersebut. Dia juga melapor ke PASKI (Persatuan Artis Pelawak Indonesia) karena ingin membentengi dan menjaga marwah profesi lawak.
“Jadilah, alumni yang bisa memberikan nilai lebih pada Unesa, yang bisa mengangkat marwah dengan menjalani profesi sebaik mungkin. Unesa saat ini tidak hanya mencetak pendidik, tapi juga keilmuan yang lain. Karena itu, alumninya harus bisa menjaga nilai dengan beragam peran dalam masyarakat,” tandasnya memberi pesan. (*)
Reporter: Azhar Adi Mas’udi
Editor: Basyir Aidi