*)Oleh Much. Khoiri
Tulisan berikut ini sebuah fragmen atau penggalan kenangan yang amat mengesankan dan merindukan—yang senantiasa hadir kembali tatkala musim haji tiba, dari waktu ke waktu.
Bagi Anda yang pernah merindu seorang kekasih, bayangkan tatkala Anda yang sedang merindu setengah mati, diundang oleh kekasih Anda itu ke rumahnya. Diundang ke rumahnya saja sangat menyenangkan, bisa terbang layaknya. Alangkah bahagianya nanti tatkala bertemu sang kekasih. Hati berbunga-bunga, pikiran dan perasaan hanya tertuju padanya.
Lebih kurang itulah yang kurasakan saat pertama kali datang ke Baitullah ini. Aku (satu di antara dua juta tamu Allah tahun ini) yang sudah bertahun-tahun merindu-Nya, belum berjumpa dengan-Nya pun aku bahagia luar biasa. Bahkan, kebahagiaan telah melambung tinggi hanya karena memenuhi undangan-Nya yang khusus, yang tidak sebarang orang mendapatkannya.
Maka, kulakukan apa yang Dia perintahkan. Atas nama-Nya, dan untuk mengharap ridha-Nya, aku hayati thawaf (mengelilingi ka’bah 7 kali) dengan sepenuh pikiran dan perasaan. Aku berusaha melarutkan diri dalam istighfar, tasbih, tahmid, takbir, shalawat, dan serangkaian doa. Berdesakan dengan saudara-saudaraku dari seluruh penjuru dunia, aku hayati thawaf. Seakan Dia hadir di hadapanku, bahkan di dalamku. Sungguh nikmat rasanya.
Setiap kali melantunkan pujian dan doa, seraya memandang ka’bah, jantung berdebar dan tubuh bergemetaran. Aku yang penuh dosa (kepada-Nya, sesama manusia, dan alam sekitar, serta diri sendiri) merasa betapa kecilnya aku di hadapan ka’bah saja, bahkan hanya satu dari lautan manusia yang sama-sama merindu dan hadir memenuhi panggilan Sang Kekasih. Tak terasa air mata berlinangan di pipi dan menggenangi mata.
Penghayatan ini membuatku seakan hilang dalam keberadaan-Nya. Aku bukan siapa-siapa; bahkan aku tidak berhak dipadankan dengan setitik debu sekalipun. Allaahu Akbar walillaahilhamd. (Maka, nikmat Tuhan yang manakah yang aku dustakan?) Aku hamba yang akan lenyap tanpa sisa hanya dengan tiupan kecil belaka, seandainya Dia berkehendak.
Saat Sa’i demikian pula. Kuhayati jalan dan lari kecil sebanyak tujuh kali dari bukit Shafa dan Marwa dengan segala bacaan yang diajarkan kepadaku. Bacaan yang dihayati maknanya! Tidak semua; hanya yang utama saja. Itu telah membuatku merasa dekat dengan-Nya. Aku merasakan kehadiran-Nya. Aku merasakan hilangnya aku di dalam kehadiran-Nya. Apa yang kurasakan saat thawaf terjadi lagi padaku saat sa’i ini. Setiap langkah adalah panjatan pujian dan doa untuk-Nya yang menghanyutkan.
Di pungkasan Sa’i aku memanjatkan doa, dan kemudian tahallul (memotong rambut), atas bantuan saudaraku dari KBIH Al-Azhar. Apakah aku jadi bertemu Sang Kekasih di sana? Aku tidak berbagi di sini. Biarlah itu menjadi rahasiaku dengan-Nya, Dia yang Maha Rahasia. Aku hanya manut saja, disuruh apapun di rumah-Nya aku telah melakukannya. Yang penting, aku hanya mengharap ridha-Nya. Itu lebih dari cukup.
Akhirnya, ketika aku berpaling ke arah kaki, aku cukup terkejut. Ada darah di jempol kaki kiriku. Setelah kuperiksa, aku baru sadar, bahwa sepertiga kuku jempol kaki kiriku telah cuwil. Entah kapan dan di mana kuku itu cuwil, aku benar-benar tidak tahu. Tadi aku lupa siapa diriku tatkala menjalani langkah-langkah yang telah diperintahkan oleh-Nya (dan Rasul-Nya). Sekarang aku baru sadar kembali pada kondisi sebagian fisikku yang terluka.[bersambung]
*Penulis adalah Alumni Unesa, yang juga Dosen Unesa, Editor, dan Penulis buku; Anggota Hiski Unesa; Founder RVL, dan Ketua Apebskid Jatim. Tulisan ini pendapat pribadi.