Oleh Much. Khoiri
MENZIARAHI Masjid Quba—masjid suci ketiga setelah Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah—amatlah penting bagi jamaah haji. Di sela memenuhi “shalat arbain” (shalat 40 waktu) di Masjid Nabawi, mereka tidak mau ketinggalan untuk berziarah dan shalat di masjid yang pertama kali dibangun Nabi Muhammad SAW itu.
Mengapa masjid Quba penting? Pertama, ziarah ke masjid Quba diteladankan oleh Rasulullah SAW. “Ketika pembangunan Masjid ini selesai, Rasulullah Saw mengimami shalat selama 20 hari. Semasa hidupnya, lelaki yang dijuluki Al-Amin ini selalu pergi ke Masjid Quba setiap hari Sabtu, Senin dan Kamis. Setelah Rasulullah Saw. wafat, para shabat menziarahi masjid ini dan melakukan shalat di sana.” (HR Bukhari dan Muslim).
Para jamaah menganggap masjid itu sebagai masjid yang dipenuhi kemuliaan dan tempat membersihkan diri. Rasulullah sendiri mengimami jamaah atau sahabatnya selama 20 hari. Bahkan, beliau senantiasa pergi ke masjid itu pada setiap hari Sabtu–Senin dan Kamis, baik jalan kaki maupun berkendaraan. Para jamaah menjalankan sunnahnya.
Pada musim haji, jangan ditanya, terutama hari Sabtu, masjid Quba berjubelan dengan ribuan peziarah dari berbagai penjuru dunia. Ada yang berangkat dari penginapan (hotel), dari rumah, dari masjid Nabawi setelah shalat subuh. Bus, taksi, dan mobil pribadi silih berganti memenuhi halaman parkir dan bahu-bahu jalan. Mereka menunaikan shalat dan berdzikir di sana.
Kedua, masjib Quba menyimpan sebuah rahasia keutamaan yang penting. “Shalat di Masjid Quba memiliki keutamaan. Menurut Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu bin Sahl bin Hunaif ra., ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang bersuci di rumahnya, kemudian pergi ke Masjid Quba, lalu ia shalat di dalam Masjid Quba, maka baginya pahala seperti pahala umrah.’” (HR Tirmidzi).
Ya, pahala setara umrah inilah yang juga merupakan motivasi jamaah berziarah dan shalat di masjid Quba. Singkat tutur, ziarah dan shalat di masjid Quba adalah “umrah”-nya para sahabat di Madinah dan sekitarnya kala itu. Padahal, umumnya umrah dilaksanakan di Makkah dengan miqat-miqat yang sudah ditentukan (Ji’rona, Tan’im, Bir Ali, Hudaibiyah).
Bagi yang sudah melaksanakan umrah, dipahami bahwa amalan yang ditunaikan tidaklah enteng. Seseorang harus melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran) dan sa’i (berlari kecil dari bukit shafa ke bukit marwa sebanyak tujuh kali). Jika lintasan sa’i tetap sama (sekitar 5 km), lintasan thawaf bergantung pada kepadatan jamaah. Jika berada di lintasan terluar, atau berada di lantai dua atau tiga, total lintasan akan berkilo-kilometer panjangnya—dan itu cukup melelahkan ditempuh dengan jalan kaki.
Sementara itu, pada zaman Nabi, beliau selalu pergi ke masjid Quba dengan berjalan kaki atau berkendaraan, terutama, pada hari Sabtu. Kemudian, beliau menunaikan shalat dan membersihkan diri di dalamnya.
Jadi Rasulullah SAW telah mempertimbangkan tingkat kesulitan ibadah umrah di Makkah dan ziarah ke masjid Quba–di samping juga memberikan motivasi untuk mencintai masjid Quba yang dicintainya–bahkan, disebut Allah sebagai masjid yang didirikan atas dasar taqwa. “Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS At-Taubah: 108).
Oleh karena itu, jamaah yang merasa kurang jumlah ibadah umrahnya di Makkah, atau ingin menyempurnakannya, pastilah mereka tidak menyiakan waktu selama tinggal di Madinah. Shalat Arbain ya, berdoa di Raudhah ya, dan menziarahi masjid Quba pun tak ketinggalan. Semua dilakukan semata untuk mengharap ridha Allah.[]
*Penulis adalah alumni Unesa, Dosen Unesa, Editor, dan Penulis buku; Anggota Hiski Unesa; Founder RVL, dan Ketua Apebskid Jatim. Tulisan ini pendapat pribadi.