*)Oleh: Eko Prasetyo
Pendidikan termasuk hak asasi warga negara. Hal ini juga termasuk hak memperoleh pendidikan yang baik dan bermutu bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Namun, disparitas antara sekolah di pusat dan daerah, termasuk wilayah perbatasan, masih menjadi problem di tanah air.
Sekolah yang kondisinya serba terbatas dan mirip adegan Laskar Pelangi di wilayah perbatasan bukan isapan jempol dan fiksi belaka. Sayangnya, potret ironi pendidikan ini belum dianggap pemerintah sebagai problem serius. Topik seputar politik dan kebijakan prokapitalis masih dianggap lebih menarik untuk diperbincangkan hingga berbusa-busa dibandingkan tema kesengsaraan masyarakat yang tinggal di wilayah tapal batas.
Sebagai penulis, saya menyaksikan banyak potret semacam ini di daerah-daerah tertinggal. Banyak sekolah dasar negeri yang belum memiliki perpustakaan yang layak, lapangan olahraga, dan sarana perlengkapan ekstrakurikuler lainnya.
Political Will
Harus diakui bahwa pemerataan pendidikan di Indonesia belum terwujud secara menyeluruh. Jomplangnya mutu pendidikan, baik dari segi sumber daya manusia (tenaga pendidik), sarana dan prasarana, maupun anggaran peningkatan pendidikan, antara pusat dan daerah perbatasan begitu menganga.
Karena itu, dibutuhkan adanya kemauan politik (political will) dari pemerintah pusat untuk menyentuh permasalahan di wilayah perbatasan. Di bidang pendidikan, anggaran untuk menangani keterbatasan pendidikan di daerah perbatasan harus optimal. Jangan sampai banyak sekolah di wilayah tapal batas yang merasakan ketidakadilan. Misalnya, gedung sekolah sudah reyot, atap rusak, kayu lapuk, dan sebagainya.
Sudah semestinya pemerintah pusat lebih memprioritaskan pemerataan mutu pendidikan di daerah-daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Hal ini jauh lebih mendesak dilakukan daripada menghambur-hamburkan anggaran untuk, misalnya, penerapan kurikulum baru yang menelan anggaran sangat besar.
Masalah pendidikan di daerah terdepan ini tentu sangat serius. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa kehidupan di wilayah perbatasan juga bergantung pada roda ekonomi di negeri jiran. Apabila tidak mendapat penanganan yang baik dari pemerintah, bukan tidak mungkin hal tersebut bisa memicu masalah disintegrasi bangsa dan mengancam keberadaan generasi masa depan yang berkualitas.
Penyediaan SDM
Problem Sekolah “Laskar Pelangi” di daerah-daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) yang secara administratif berada di bawah naungan NKRI masih memiliki permasalahan di bidang penyelenggaraan pendidikan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela dalam buku Berbagi di Ujung Negeri (2013), problem umum yang terkait dengan SDM pendidik di daerah 3T adalah kekurangan jumlah (shortage), distribusi tak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu. Masih tingginya angka putus sekolah juga kian memperparah rendahnya angka partisipasi sekolah.
Dengan memperhatikan berbagai permasalahan tersebut, pemerintah diharapkan mengelola secara khusus dan sungguh-sungguh meningkatkan mutu pendidikan di daerah-daerah tersebut, termasuk wilayah perbatasan. Hal ini mengingat wilayah tapal batas memiliki peran strategis dalam memperkokoh ketahanan nasional dan keutuhan NKRI.
Program pengiriman SDM guru muda berkualitas seperti pernah dilakukan melalui SM-3T (Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) perlu diadakan kembali. Setidaknya peran serta para pengajar muda ini diharapkan mampu mengatasi problem sumber daya manusia (SDM) atau guru di daerah 3T dan wilayah perbatasan.
Partisipasi Pemda
Komitmen pemerintah daerah (pemda) benar-benar sangat dibutuhkan. Bentuknya, pemda menyiapkan dan menyediakan fasilitas belajar, tenaga pendidik, dan pembiayaan. Selain itu, program afirmasi pendidikan untuk siswa dari daerah perbatasan perlu mendapat perhatian. Misalnya, pelajar dari wilayah tapal batas dikirim ke sekolah-sekolah yang memiliki kualitas dan akses pendidikan yang baik di Pulau Jawa dan Bali.
Tujuannya, mereka mengenal daerah lain dalam NKRI, memperkecil disparitas, dan mendorong mereka untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi. Apabila, pemerintah dan seluruh stakeholder pendidikan melaksanakannya dengan maksimal dan sungguh-sungguh, problem pendidikan di wilayah perbatasan dapat diatasi sekaligus menyiapkan generasi emas Indonesia pada 2045. Semoga.
*)Penulis adalah alumnus Unesa, yang juga pemimpin redaksi Mediaguru.