*)oleh Much. Khoiri
Dalam waktu dekat ini, seluruh jamaah haji akan tumplek-blek di Makkah. Mereka akan menjalani rangkaian ibadah haji, termasuk wukuf di Arofah, miqat di Muzdalifah dan Mina sekaligus melempar jumrah.
Kemudian, dari Mina jamaah akan menyemut balik ke Makkah guna menyempurnakan haji: thawaf ifadhah dan tahalul tsani. Jika tuntas, yang gelombang satu akan pulang ke tanah air, gelombang dua akan bergeser ke Madinah dan akhirnya pulang.
Dari seluruh rangkaian ibadah haji, ada satu kata yang paling kerap diucapkan oleh sesama jamaah, yakni kata sabar. Kata ‘sabar’ seakan bertaburan dan bertebaran di setiap tempat dan di setiap waktu. Bahkan di dada setiap jamaah seakan terlukis ucapan ‘sabar’ itu. Ya, bayangkan betapa pentingya ia.
Sabar! Itulah yang jamaah sampaikan dan hayati setiap harinya. Terpanggang di Arafah, di bawah terik matahari, harus bersabar—begitu pun saat mencari kerikil di Muzdalifah di malam hari, atau saat berdesakan melempar jumrah. Obatnya, cespleng: Sabar!
Itu contoh kecil saja. Selebihnya banyak sekali, agaknya setiap jemaah mengalami ujian masing-masing. Naik-turun lift hotel saja jamaah harus menghayati kesabaran, meski lift tidak memadai untuk menampung dua kloter jamaah haji: ratusan orang, misalnya. Sabar mau shalat ke Masjidil Haram, sabar naik bus shalawat, dan sabar pula saat kehilangan pasangannya.
Antri naik bus juga perlu kesabaran. Semua ingin naik duluan. Setiap ada jamaah yang ‘nakal’ (main selonong), keluarlah peringatan dari jamaah lain. “Sabar, Pak. Sabar, Bu.” Mereka saling mengingatkan satu sama lain, agar tidak merusak atau mengurangi pahala haji. Mereka saling membantu menegakkan kesabaran.
Antri ke kamar mandi atau berwudlu, jangan ditanya lagi. Ini tempat ujian kesabaran yang luar biasa, terutama bagi ibu-ibu. Ibu-ibu lebih ribet (dari pada laki-laki) tentang pakaian. Maka, kesabaran terus diuji tatkala mereka baru saja masuk ke kamar mandi, jamaah putri lain sudah meneriaki, mengetok pintu, atau sambat-sambat. Jika tidak sabar, pasti ada percekcokan kecil.
Kalau kamar mandi di hotel, tidak masalah. Namun, kalau kamar mandi di Arofah, Muzdalifah, dan Mina, janganlah ditanya: Antrian kerap berpanjang-panjang. Terlebih, jika pengantri pada ‘kebelet’ alias ingin BAB (sebuah hajat alamiah yang sulit untuk ditunda), godaan untuk berteriak sangat kuat. Saat inilah kesabaran jamaah benar-benar diuji, apakah mereka mampu menahan diri.
Sabar menuju Ikhlas
Per individu, jamaah mana yang tidak selalu mengingatkan diri untuk bersabar? Mau menggunjing, tahan diri: sabar. Mau mengolok orang yang menurutnya aneh, tahan diri: Sabar. Tersenggol atau terdorong jamaah yang gede, elus dada dulu: Sabar. Mau berbantah-bantahan, jangan lakukan: Sabar dan sabar. Mikir dan bertindak yang aneh-aneh, langsung hantam dengan ‘sabar’. Mau ngrasani, jangan turuti: Harus sabar dan sabar.
Sekarang, adakah hikmahnya? Dari survei acak, ada hikmah yang bisa dipetik: bahwa kesabaran itu dasariah untuk dimiliki seseorang dalam menjalani hidup ini. Dengan kesabaran, keihlasan menyatu dengan diri, menghayati hidup dalam kebaikan.[bersambung]
*)Penulis adalah Alumni S1 dan S3 Unesa , Dosen Unesa, Editor, dan Penulis buku; Anggota Hiski Unesa; Founder RVL, dan Ketua Apebskid Jatim. Tulisan ini pendapat pribadi.